Jakarta -
Warga negara Indonesia (WNI) asal Jakarta Selatan berinisial SA (27) diduga disekap hingga disiksa di Myanmar. Keluarga SA mengadukan dugaan penyekapan itu ke Bareskrim Polri hari ini.
Sepupu SA, Yohana Apriliani (35), menyatakan kehadirannya ke Bareskrim hari ini bertujuan memberikan bukti-bukti perihal apa yang terjadi pada SA.
"Sebenarnya ini udah ketiga kalinya kita balik ke sini. Karena waktu awal kita ke sini sudah kesorean, lalu kita balik di hari berikutnya. Di hari berikutnya kita diarahin untuk konsultasi ke Satgas TPPO. Nah kita sudah bercerita banyak tentang kasusnya SA ini, lalu kita diarahin lagi untuk bikin Dumas plus dilampirin berkas bukti-bukti yang lainnya," kata Yohana kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (12/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satu bukti chat-an si Risky yang ngajak si SA. Lalu ada laporan Kemenlu dan BP2MI, sama rekaman suara di dalam satu flash disk," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, SA awalnya diajak temannya bernama Risky untuk bekerja di Thailand dengan gaji sebesar USD 10 ribu atau Rp 150 juta. SA beserta keluarga tak menaruh curiga sama sekali karena mereka sudah kenal baik dengan Risky.
Seluruh kebutuhan keberangkatan SA ke Thailand diurus oleh Risky. Hingga akhirnya SA meninggalkan Indonesia pada 11 Juli 2024.
Sesampai di Bangkok, Thailand, SA bersama Risky dan sejumlah orang keturunan India lainnya menaiki satu mobil. Mereka dijanjikan dibawa ke daerah Mae Sot, Thailand.
Namun setelah itu SA berpisah mobil dengan Risky. Alih-alih ke Mae Sot, SA malah diberangkatkan ke Myanmar.
Sejak saat itu Risky mengaku kepada keluarga SA bahwa dia mulai hilang kontak dengan SA. Sementara Risky diketahui telah kembali ke Indonesia pada 30 Juli 2024.
"Si Risky ini tanggal 30 Juli kemarin sudah balik loh ke Indonesia. Itu yang kita pertanyakan sebagai keluarga, kok dia yang ngajak tapi di bisa balik dengan bebasnya, dengan sehatnya ke Indonesia," ungkap perempuan yang akrab disapa Nana itu.
"Sedangkan kita dapat telpon dari SA, dia tuh di sana disekap, disiksa karena orang sana minta tebusan sebesar USD 30 ribu. Selama uang itu belum masuk, si SA setiap nelepon ke kita, dia selalu disiksa sama orang sana, enggak dikasih makan juga, minum pun nunggu hujan dia baru bisa minum," sambung dia.
Nana menuturkan, SA bercerita bahwa ada 15 orang WNI yang tengah disekap bersamanya di tempat yang sama. Namun hingga kini mereka tak dapat keluar dari tempat itu.
"Kabar terakhir SA, saat ini ya dia keadaannya yang pasti sedang tidak baik-baik saja. Karena dia bilang megang handphone saja posisi tangannya terborgol dan berada di toilet yang cuma selangkah," cerita Nana.
"Dia bilang kalau dia disiksa hanya pakai tangan dia bilang masih kuat. Tapi ini masalahnya dipukul pakai alat, pake senjata atau stik golf, dia pernah bilang gitu," lanjut Nana.
Kendati begitu, Nana mengaku pihak keluarga belum ingin berfokus untuk melayangkan laporan polisi terhadap Risky. Sebab, menurut dia, kepulangan SA menjadi fokus utama untuk diperjuangkan.
"Saya sebenernya fokus ingin untuk kepulangan SA dulu saja. Kalau untuk kasus si Risky, paling nanti kita nunggu korban (SA) balik ke Indonesia. Saat ini fokus untuk minta (bantuan) pergerakan Pemerintah dan Kepolisian Indonesia untuk kepulangan SA aja dulu," imbuh Nana.
SA Berada di Daerah Konflik
Diplomat Muda Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Rina Komaria, menyebutkan SA disekap di wilayah Myawaddy, Myanmar. Wilayah itu disebut sulit dijangkau karena dikuasai kelompok bersenjata.
"Otoritas Myanmar sendiri pun tidak dapat menjangkau," kata Rina dilansir Antara, Senin (12/8/2024).
Kemlu telah menerima laporan aduan mengenai kasus tersebut dan kini sudah ditangani oleh KBRI Yangon, Myanmar. Saat ini pemerintah Indonesia masih berkoordinasi dengan otoritas Myanmar untuk menangani kasus tersebut.
Selain dikuasai kelompok bersenjata, wilayah Myawaddy merupakan daerah konflik di Myanmar. Dia mengaku turut prihatin atas kejadian tersebut dan upaya pembebasan korban masih dilakukan.
"Masih koordinasi dengan otoritas Myanmar, wilayahnya daerah konflik sehingga prosesnya kompleks," ucap Rina.
(ond/idn)