Jakarta -
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadakan pertemuan 'darurat' dengan pakar internasional terkait wabah Mpox. Ini dilakukan di tengah wabah Mpox yang terus meluas di Afrika.
"Sejauh ini, wabah multinasional tersebut sebagian besar terkonsentrasi di Republik Demokratik Kongo (DRC), yang telah melaporkan lebih dari 14.000 kasus mpox tahun ini," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers.
Dikutip dari Live Science, wabah di DRC telah berlangsung sejak tahun 2023, saat negara tersebut melaporkan sekitar 12.600 kasus yang diduga Mpox dan 580 kematian akibat penyakit tersebut, antara Januari dan awal Desember.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), itu merupakan peningkatan kasus yang sangat besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Kini, jumlah kasus yang dilaporkan dalam enam bulan pertama tahun ini (2024) sama dengan jumlah yang dilaporkan sepanjang tahun lalu. Dan virus tersebut telah menyebar ke provinsi-provinsi yang sebelumnya tidak terdampak," jelas Tedros.
Selain itu, dalam sebulan terakhir, sekitar 50 kasus telah dikonfirmasi. Dari laporan yang ada, diduga kasus Mpox lebih banyak terjadi di beberapa wilayah, seperti Burundi, Kenya, Rwanda dan Uganda, yang memang berdekatan dengan DRC.
Melihat adanya potensi penyebaran wabah yang bisa terjadi di dalam maupun luar Afrika, Tedros memutuskan untuk mengadakan rapat darurat berdasarkan peraturan kesehatan internasional.
"Saya telah memutuskan untuk mengadakan Komite Darurat berdasarkan Peraturan Kesehatan Internasional, untuk memberitahu saya apakah wabah tersebut merupakan keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional," kata Tedros.
Wabah yang sedang berlangsung di Afrika menampilkan cabang baru dari keluarga klade 1, yang dijuluki sebagai klade 1b. Analisis genetik menunjukkan bahwa cabang baru ini muncul pada bulan September 2023 di DRC.
Virus tersebut telah menyebar melalui rumah tangga dan jaringan seksual, dengan tingkat kematiannya diperkirakan antara 3 persen dan 6 persen.
"Klade 1b telah dikonfirmasi di Kenya, Rwanda, dan Uganda, sementara klade di Burundi masih dianalisis," ungkap Tedros.
Para ahli mengantisipasi bahwa klade 1b ini berpotensi menyebar ke luar perbatasan DRC. Hal ini disampaikan oleh seorang ahli epidemiologi di Institut Penelitian Biomedis Nasional DRC, Dr Placide Mbala.
"Orang-orang sangat mobile di bagian timur negara itu dengan hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga," ujar Dr Mbala.
"Hanya masalah waktu untuk mulai melihat kasus-kasus di negara-negara tetangga tersebut," pungkasnya.
(sao/naf)