Jakarta - PT Vale Indonesia Tbk bicara terkait tantangan dan peluang dalam mendukung dekarbonisasi, khususnya pada industri pengolahan nikel. Hal ini sejalan dengan target Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Head of Strategic & Corporate Affair PT Vale Indonesia Tbk, Budiawansyah, mengatakan industri pengolahan nikel RI punya peluang besar di masa mendatang. Ditambah lagi, Indonesia sendiri disebut-sebut memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
"Kita memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, itu nomor satu cadangan nikel dan negara ini mampu kalau kita bisa melakukan penambangan yang berkelanjutan," kata Budi, dalam acara Talkshow Festival LIKE 2 bertema 'Peluang dan Tantangan Dekarbonisasi di Smelter Nikel', di JCC, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Optimisme itu semakin tumbuh, seiring dengan transisi dunia dari kendaraan berbasis minyak fosil ke kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Apabila Indonesia mampu memanfaatkan peluang ini dan menggenjot industri pengolahan nikel, RI diproyeksikan akan mampu mendulang perkembangan ekonominya, hingga menduduki posisi sebagai negara maju pada 2045.
Sebagai perusahaan pertambangan nikel, Budi mengatakan, Vale telah ada di Indonesia sekitar 56 tahun lamanya. Mulanya Vale beroperasi di Sulawesi Selatan dengan produksi nikel 60-70 kilo ton dalam bentuk matte dengan kadar 78% per tahun.
"Yang diolah itu adalah saprolite, high grade nickel. Sekarang teknologi semakin berkembang, sehingga yang low grade dalam bentuk limonit akan dikembangkan dan inilah yang akan menjadi bahan dasar dari baterai listrik," jelasnya.
Namun untuk mewujudkan hal ini, ada sejumlah tantangan yang dihadapi. Hal ini utamanya menyangkut keberlanjutan lingkungan itu sendiri dan bagaimana mewujudkan dekarbonisasi dalam operasi tambang.
"Di sini menghasilkan sebuah PR tersendiri, yaitu melibatkan energi yang cukup tinggi. Jumlah karbon yang dihasilkan cukup tinggi dengan teknologi smelter yang ada, khususnya pirometalurgi," ujar dia.
Oleh karena itu, sangat penting untuk industri pengolahan nikel ke depannya untuk dapat mengatur operasional agar tidak memberikan beban tambahan kepada lingkungan. Pemerintah pun bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan melakukan transformasi energi. Vale sendiri mencoba mewujudkannya lewat implementasi teknologi hydrometallurgi.
"Vale itu menggunakan energi bersih PLTA, yaitu menghasilkan karbon CO2 cukup rendah. Kalau kita lihat di kuartal 1, dengan hidro (7:52) itu ada sekitar kurang daripada 30 ton CO2 per ton nikel. Bayangkan kalau kita tidak menggunakan hidro, itu atau pakai batubara (tinggi CO2)," katanya.
Selain itu, dalam 5 dekade lebih operasional perusahaan, Vale mengedepankan prinsip-prinsip pertambangan berkelanjutan atau green mining sebagai dasar utama. Hal ini diwujudkan Vale melalui sejumlah kegiatan, mulai dari praktek reklamasi hingga menjaga kelestarian Kawasan sekitar tambang.
"Bagaimana industri pertambangan berkelanjutan itu atau green mining kami terapkan. Jadi, inilah kenapa resepnya, kenapa sustainable mining itu menjadi sebuah dasar utama untuk sebuah operasional bisa berlanjut secara terus-menerus," ujar Budi.
Budi menambahkan, Vale selalu memperhatikan tiga aspek utama dalam atau kerangka sustainability antara lain people, planet, dan profit. Selaras dengan hal itu, Vale menerapkan sistem pertambangan yang progresif.
"Kami menambang, itu adalah menerapkan sistem pertambangan yang progresif. Apa itu progresif? Buka (lahan tambang), langsung tutup (dengan tumbuhan hijau). Jangan nunggu, selesai, baru ditanam," kata dia.
Dengan langkah-langkah ini, harapannya Vale dapat membantu Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 mendatang, atau bahkan pada 2050. Selain itu, harapannya juga bisa berkontribusi untuk menurunkan emisi karbon hingga 33% pada 2030. (shc/das)