Jakarta -
Kandungan bisphenol A atau BPA pada produk-produk plastik kerap menjadi perhatian masyarakat. Hal ini karena BPA sendiri dianggap sebagai kandungan yang mampu memicu beberapa masalah kesehatan.
Salah satunya, terkait anggapan bahwa BPA dapat menyebabkan kanker saat bermigrasi ke makanan dan minuman. Dalam polling yang dilakukan detikcom Leaders Forum, hampir 80 persen responden menganggap senyawa yang juga dipakai sebagai pelapis kaleng kemasan makanan tersebut bisa menyebabkan kanker.
Faktanya, dr Aditiawarman Lubis, MPH dari Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia mengatakan penelitian tentang hal ini masih terbatas. Menurutnya, terlalu dini untuk menyimpulkan keterkaitannya dengan kanker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(BPA) menyebabkan kanker? Punya risiko, iya. Tetapi dalam penelitian tidak cukup atau belum bisa konklusif," ujar dr Adit, sapaannya, dalam detikcom Leaders Forum 'Membedah Disinformasi Dampak BPA Bagi Kesehatan', Rabu (17/7/2024).
"Artinya belum bisa diputuskan bahwa BPA menyebabkan kanker secara langsung," sambungnya.
Sementara itu, pemahaman tentang migrasi BPA ke makanan dan minuman juga masih banyak yang keliru. Konsultan hematologi dan onkologi medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Dr dr Andhika Rachman, SpPD-KHOM mengatakan migrasi umumnya terjadi karena kebiasaan memanaskan makanan di dalam food container dengan microwave.
"BPA ini larut atau lepas gitu kalau dia dipanaskan dalam suhu tinggi," ujar dr Andhika.
"Kebiasaan menyimpan makanan di food container tadi, atau dia dimasak langsung di microwave bersama dengan container (wadah makanan) itu yang bermasalah," sambungnya.
dr Andhika menambahkan, makanan atau minuman yang disimpan di suhu ruang atau rendah tidak akan membuat kandungan BPA-nya larut. Jika memang ingin memanaskan makanan dengan microwave, sebaiknya dipindahkan terlebih dulu ke material yang lebih aman seperti piring kaca.
Apakah BPA Semenyeramkan Itu?
Menurut dr Adit, BPA sendiri memang tak akan terlepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Menurutnya, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seseorang membatasi jumlah paparan harian dari BPA tersebut.
"BPA ini tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kita. Suka tidak suka, sadar tidak sadar kita terpapar oleh BPA itu," kata dr Adit.
"Yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya yang aman. Itu sudah diatur oleh regulator, oleh Badan POM. Ketika angka BPA-nya itu di bawah yang ditetapkan Badan POM maka seharusnya kita aman-aman saja," sambungnya.
Sebagai informasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Peraturan ini mengatur persyaratan keamanan kemasan pangan termasuk batas maksimal migrasi BPA maksimal 0,6 bpj (600 mikrogram/kg).
Dalam buku Review Bisphenol A, Anguis Institute For Health Education menyebut migrasi BPA yang terjadi pada wadah plastik dengan penggunaan normal tidak signifikan yakni maksimum 2 nanogram per penggunaan. Sebagai gambaran, jika seseorang mengonsumsi botol berisi 2 liter air maka paparan BPA yang terjadi pada kadar tersebut adalah 6 nanogram/kg berat badan/hari, jauh di bawah batas maksimal yang ditetapkan.
Selain itu, BPA yang masuk ke dalam tubuh manusia, normalnya akan dikeluarkan lagi melalui urine. Sehingga, seseorang wajib menjaga konsumsi cairan hariannya agar cukup. Agar lebih optimal, bisa juga ditambah dengan konsumsi bahan makanan antioksidan seperti sayuran dan buah-buahan segar.
(up/up)